Lirikan iri terlihat di wajahku. Hari itu hari valentine, di mana
biasanya insan memadu cinta, menyingkirkan duka dan dendam. Semua toko
bunga diwarnai oleh bunga rose merah. Tiap pasang berjalan dengan
bergenggaman tangan erat. Tetapi kenapa ada perasaan iri yang tidak lari
dari hatiku, aku hanya merasa dunia tidak adil. Kenapa hanya orang lain
yang boleh merasakan itu semua?
Pesta valentine kali ini meriah sekali, dengan sebuah perayaan sederhana
dan acara parodi yang lucu aku merayakan bersama dengan teman-teman.
Perayaan ini diadakan oleh sebuah organisasi student indonesia di sini.
Mereka yang jauh dari keluarga saling berkumpul dan bersenang-senang
sembari mencari kenalan baru. Pada saat itu aku hanya mengenal beberapa
di antara mereka saja. Hanya bermodal undangan di email yang kuterima 2
hari sebelumnya aku datang dan ikut bergabung. Mama ikut senang melihat
aku ikut kegiatan mereka. Mama ikut meminjamkan gaun yang langsung
kutolak. Aku ingin tampil sederhana dan seadanya. Hanya dengan jeans dan
sweater merah muda aku merasa tidak berbeda dengan teman-teman yang
lainnya.
Pada saat aku datang seorang diri aku menangkap adanya pandangan yang
aneh dari ujung, seorang pemuda yang berlipat tangan dan duduk seenaknya
tidak melepaskan pandangannya kepadaku. Aku sudah beberapa kali salah
tingkah, merasa malu dan takut. Beberapa temen wanita yang sudah kukenal
menyambutku dengan senang, sambil menarik tanganku agar aku duduk di
sebelah mereka. Tidakk, dalam hati aku tidak ingin menjauhi pemuda itu.
Tiba-tiba aku kehilangan bayangannya. Dia hilang entah kemana, hingga
waktu perayaan akan dimulai tidak kutemukan dia lagi. Perayaan pun
dimulai dan tiba tiba aku disadarkan oleh sebuah paduan suara merdu yang
diiringi piano. Dia berada di sana. Dia dengan tubuhnya yang tinggi
berada di antara orang yang memadukan suaranya. Selama perayaan itu aku
merasa mimpi. Kami saling bertukar pandang dan senyum. Biarpun dia di
depan dan aku duduk di belakang tapi aku merasa kalo dia pun bisa
melihatku dengan jelas. Demikian denganku, setiap tarikan napasnya bisa
kurasakan, setiap nada yang dia nyanyikan pun ikut kunyanyikan. Selesai
perayaan, di saat aku mengambil minum dia pun mendekati aku.
"Hi, anak baru yah? Baru datang ke Jerman?"
Aku hanya menjawab dengan senyum simpul. Dia pun melanjutkan lagi,
"Gue Arry, loe siapa namanya?"
Pada saat itu teman-teman yang lain sudah datang mendekati kami, hingga
kesempatan itu pun hilang. Tapi di matanya aku bisa menangkap pesan dari
Arry, dia menunjuk teras yang terbuka. Akhirnya ketika ada kesempatan
akupun keluar ke teras dan melihat ada Arry di sana. Dia menjulurkan
tangan kanannya sambil tersenyum,
"gue Arry, baru sekarang bisa resmi kenalan, elo siapa?".
Kubalas juluran tangannya sambil menyebutkan namaku. Itulah awal
segalanya. Kami tidak berhenti mengobrol tentang segalanya. Dia pun
sedikit malu setelah mengetahui bahwa aku sudah 2 tahun lebih tua. Dia
mengira kalo aku berumur sama dengan dia, tapi itu semua tidak
menghentikan obrolan kita. Sampai akhirnya waktu juga yang memaksa kita
untuk berpisah. Dengan sedikit berjanji bahwa akan selalu kontak dan
akan segera bertemu lagi, kami berpisah malam itu. Aku pulang dengan
membawa janji dan harapan kecil.
Hari pertama tahun 2001, dingin dan sepi. Mama dan frank sedang liburan.
Aku seorang diri di rumah setelah sehari sebelumnya merayakan
pergantian tahun baru bersama teman-teman di dekat rumah. Cape, malas,
tapi lapar akhirnya aku melangkahkan kakiku ke bawah, mencari sesuatu
untuk bisa di makan. Sambil menuang susu di gelas aku menyalakan radio.
Tiba-tiba bel rumahku berdering. Dengan perasaan heran aku melangkah ke
depan dan melihat Arry berdiri d idepan rumah seorang diri. Kubuka pintu
masih dengan perasaan kaget yang belum hilang. Dia menjulurkan
tangannya lagi sambil mengucapkan selamat tahun baru dan tangan
sebelahnya membawa sebuah kotak makanan.
"Kemaren Arry coba bikin bakwan jagung, kan Nana pernah cerita kalo suka
makan bakwan jagung? Tapi jangan marah kalo engga enak ya?"
Aku hanya bisa tertawa, dan membalas uluran tangannya sambil mencium
sebelah pipinya mengucapkan selamat tahun baru. Ketika menarik kembali
pipiku, tanganku ditariknya lagi,
"kalo orang belanda sun nya harus 3 kali," katanya sembari melanjutkan acara sun pipi itu.
Ada yang berbeda dari dirinya dibanding teman-teman pria yang kukenal.
Dia lugas, jujur, konyol, bawel, dan tidak tahu malu. Hanya 5 hari
setelah dia datang ke rumahku dia sudah berani mengucapkan kata cinta,
yang saat itu sudah hambar di bayanganku. Di mobilku dia mencoba
menciumku dengan gaya ciumannya yang mengingatkanku kepada ciuman
pertamaku 7 tahun yang lalu. Cara dia memegang tanganku seakan-akan dia
takut bila aku lepas dan lari meninggalkannya. Hingga suatu saat dia
meminta lebih dariku.
Sore itu aku mampir ke tempat tinggalnya. Dia hanya mengenakan celana
pendek dan kaos menyambutku dengan celotehannya yang ramai. Dia
memamerkan video yang baru dia beli, dan memaksaku untuk menontonnya
saat itu juga bersamanya. Sambil duduk di lantai, dia meletakkan
kepalanya di pangkuanku.
Ketika film setengah berjalan, Arry mencoba untuk menyentuh tubuhku
lebih. Dia menggesekkan kepalanya di dadaku, sambil mendesah manja. Dia
berbisik,
"Na, minta sun donk,"
suatu permintaan yang tidak menbutuhkan jawaban tetapi tindakan. Kami
pun segera berdekap erat, saling meraba, dan saling membuka baju. Dia
menggendong tubuhku dan meletakkan di atas ranjangnya. Selimut dan
bantal semua dia buang ke lantai.
Dia membuka celana jeansku, sambil berdecak kagum. Dia memulai dengan
menciumi perutku, menjilati buah dadaku, mencari bibirku. Sebelah
tangannya membuka celana dalamku dan meraba-raba vaginaku. Tiba-tiba dia
diam saja, sambil menatap mataku dia bertanya,
"Na, begini bener tidak?" Hanya ketawa dan ketawa yang mengiringi percintaan kami saat itu.
Hubungan kami sangat cepat berkembang. Arry seorang student yang jauh
dari keluarga sedangkan aku sedang dalam usaha menjauhkan diri dari
keluarga. Kami saling membutuhkan dan saling melengkapi. Aku merasa
bahwa ini adalah jalan yang memang disediakan supaya aku membiarkan
kehidupan mama mengalir dengan tenang. Semakin hari semakin aku merasa
Arry adalah orang yang tepat untukku, dan tiba saatnya aku merasa harus
menceritakan semua masa laluku kepadanya.
Aku ini aib, aku ini pendosa tapi aku tidak membutuhkan belas kasihan.
Aku hanya membutuhkan dukungan dan rasa cinta untuk bisa bertahan hidup.
Aku tidak menuntut banyak dari seorang Arry, bahkan ketika aku
menceritakan semua yang kualami aku mencoba tidak berharap dia akan
bertahan di sisiku.
Tetapi setelah dia pergi, rasa sakit itu muncul. Aku menyesal atas
kejujuranku. Akankah semuanya masih seperti yang dulu apabila aku tidak
menceritakannya?
Arry telah menjadi sebuah cerita di hatiku, sebuah cerita pendek yang
menorehkan rasa sesal yang mengakar. Aku terhempas di kehidupanku yang
lalu, tetesan air mata semakin beralasan. Bagaimana harus kuhentikan
tangisan ini?
0 komentar:
Posting Komentar